Terkadang masyarakat di negara berkembang
sering merasa heran melihat bagaimana gencarnya majalah-majalah di dunia pada
saat ini membahas dan menceritakan bagaimana internet dan teknologi informasi
telah secara signifikan merubah perilaku manusia dan bisnis di beberapa negara
sehingga telah membawa peradaban manusia kepada sebuah dunia baru yang
diistilahkan sebagai “The Cyber Community”. Masyarakat tidak habis pikir
bagaimana hal tersebut dapat terjadi mengingat bahwa tanda-tanda atau trend menuju ke arah sana
tidak secara merata terlihat di negara-negara lain. Dan seandainya ada beberapa
negara Asia yang telah mengalami fenomena yang sama, kemajuan tersebut hanya
terasa paling tidak di ibukota negara dan sejumlah kotakota besar lainnya.
Contohnya di Indonesia. Demam warung internet dan electronic commerce nampaknya
hanya terjadi di Jakarta saja
Hal itupun tidak secara merata dirasakan
oleh seluruh komunitas masyarakat. Hanya masyarakat bisnis atau mereka yang
relatif memiliki tingkatan pendidikan tertentu saja yang memanfaatkan komputer
dalam menunjang kegiatan hidupnya sehari-hari. Tengoklah bagaimana hal berbeda
terjadi di kota-kota besar lainnya, seperti Ujung Pandang, Medan, Menado,
Semarang, Palembang, yang hanya memandang teknologi informasi hanya pada sebatas
penggunaan electronic mail dan internet browser saja. Bahkan di Jakarta
sekalipun, tidak jarang ditemui para pelaku bisnis yang pesimis terhadap
perkembangan teknologi informasi di Indonesia yang terasa sulit untuk dapat mengejar
kecepatan perkembangannya di negara maju. Seribu satu alasan dikemukakan, dengan
salah satu alasan klasik yaitu masalah kesiapan dan keberadaan jaringan infrastruktur
teknologi. Bagaimana mungkun hal tersebut menjadi keluhan jika melihat bagaimana
Telkom dan Indosat – yang didukung oleh perusahaan-perusahaan lain seperti Lintas
Arta, Arthatel, EDI Indonesia, Indosatcom, dan lain sebagainya – telah memiliki
peralatan infrastruktur “state-of-the-art” (tercanggih) seperti yang layaknya
dimiliki oleh negara-negara maju?
Infrastruktur Teknologi Informasi
Ada sebuah pendapat yang mengatakan, bahwa
kunci keberhasilan sebuah negara berkembang untuk dapat menuju kepada suatu
negara industri terletak pada pembangunan dan pengembangan jaringan
infrastrukturnya, yang dalam hal ini sikategorikan sebagai: jalan raya,
telekomunikasi, jaringan listrik, pipa air minum, transportasi, dan lain
sebagainya. Alasannya cukup sederhana, yaitu karena setiap kegiatan manusia
sehari-hari memerlukan beragam komponen infrastruktur tersebut. Sehingga jika
terjadi gangguan pada komponen yang ada, akan turut mempengaruhi pula tingkat
produktivitas masyarakat dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Melihat kenyataan
tersebut, logikanya, biaya yang harus ditanggung masyarakat untuk memakai dan
memanfaatkan infrastruktur ini haruslah cukup rendah, sehingga seluruh lapisan masyarakat
tanpa kecuali dapat memanfaatkannya secara leluasa. Dengan kata lain,
pembangunan infrastruktur secara luas dan
merata merupakan sebuah prioritas yang harus dilakukan oleh sebuah negara agar
setiap titik komunitas yang tersebar secara geografis dapat dengan mudah
bekerja sama dalam berbagai kegiatan, untuk menggerakkan roda perekonomian dan
pertahanan negara yang bersangkutan. Sehingga tidak mengherankan, jika sebagian
besar pajak atau pinjaman dari luar negeri dipergunakan secara intensif untuk
membangun jaringan infrastruktur publik sebagai pendukung pembangunan nasional.
Di Amerika misalnya, jika sebuah komponen
infrastruktur pertama kali dibangun, masyarakat harus membeli jasa atau produk
pemakaian inftasruktur tersebut dengan suatu tingkatan biaya tertentu. Sejalan
dengan diperolehnya pendapatan dari masyarakat ini, pengelola infrastruktur
akan secara perlahan-lahan mengurangi biaya pemakaiannya sejalan dengan tingkat
kembalinya biaya investasi yang bersangkutan (return on investment) yang telah
ditanamkan untuk biaya pembangunan proyek. Untuk jenis infrastruktur tertentu,
seperti telepon dan listrik misalnya, harga pemakaian akan turun sampai
mencapat suatu level yang tetap (flat rate). Sementara untuk beberapa jenis infrastruktur
lainnya, seperti jalan dan air minum, penurunan biaya dilakukan sedemikian rupa
hingga pada suatu tingkatan dimana masyarakat dapat mengkonsumsinya secara gratis.
Dalam kerangka ini, tidak heranlah jika seorang mahasiswa atau pengusaha, selama
24 jam menghubungkan komputernya dengan internet, karena tidak ada biaya variabel
yang harus dibayarkan terhadap penggunaan pulsa telpon dan listrik. Bahkan bagi
mereka yang bekerja pada institusi tertentu (swasta dan pemerintah) atau sedang
mengenyam pendidikan tertentu, sambungan
internet diberikan secara gratis sebagai fasilitas penunjang aktivitas
sehari-hari. Dengan kata lain, akses ke dunia maya (cyber space) dapat
dilakukan dengan mudah, murah, dan cepat.
Digital Community Layers
Keadaan ini membuat Amerika telah semakin
siap dalam membangun komunitas dan ekonomi digitalnya yang bertumpu pada
transaksi-transaksi bisnis berbasis multimedia yang oleh Don Tapscott dalam
bukunya “Blueprint to the Digital Economy” digambarkan sebagai sebuah kerangka
yang memiliki sejumlah komponen (layer) sebagai prasyarat (Tapscott, 1998):
- Customer Layer menggambarkan bahwa para pengguna infrastruktur terdiri dari berbagai kalangan. Pelanggan tersebut dapat berasal dari kalangan bisnis, konsumen individual, keluarga, komunitas, maupun institusi-institusi lain.
- Location Layer memperlihatkan bahwa para pelanggan tersebut harus dapat melakukan akses ke cyber space dari lokasi mana saja, seperti tempat kerja, pusat keramaian publik, kendaraan, dan rumah.
- Appliances Layer merupakan ketersediaan sejumlah peralatan yang dapat menghubungkan setiap individu dengan inftastruktur teknologi informasi (distribution channels), mulai dari yang paling tradisional sampai yang tercanggih, seperti: faks, telepon, televisi, komputer, monitor canggih, personal digital assistant (PDA), kios, dan lain sebagainya.
Integration Management Layer yang merupakan inti dari
jaringan infrastruktur teknologi informasi memperlihatkan bahwa terlepas dari
berbagai jenis merekdan spesifikasi komponen-komponen yang ada, harus
diimplementasikan suatu sistem pengelolaan (manajemen) yang dapat
mengintegrasikan seluruh komponen-komponen tersebut, baik secara teknis maupun
non-teknis.
Terlihat pada kerangka tersebut bahwa pada
saat ini IP (Internet Protocol) merupakan salah satu hal yang telah disetujui
bersama (common denominator) untuk dipergunakan sebagai standar komunikasi
internasional. Melihat target pemanfaatan teknologi informasi dari kerangka
tersebut, terlihat bahwa pembangunan infrastruktur secara fisik saja tidak
cukup untuk dapat mengefektifkan penggunaan teknologi informasi. Bersama
dengannya, terkait pula hal-hal lain yang harus diperhatikan yang dalam konteks
ini sering diistilahkan sebagai suprastruktur teknologi
informasi.
Tahapan Pengembangan
Secara prinsip ada tiga tahapan utama yang
harus dikembangkan oleh suatu negara jika ingin mulai membangun komunitas
digital-nya (digital community), yaitu aspekpembangunan koneksitas, komunikasi,
dan komunitas. Pada tahap pertama, sasaran pengembangan terletak pada
pembentukan jaringan yang dapat menghubungkan setiap individu dan komunitas
yang ada. Terdapat tiga komponen pokok yang harus dikembangkan. Komponen
pertama adalah media transmisi, baik melalui darat, laut, dan udara. Media
transmisi disini diharapkan selain cepat dan ekonomis, harus pula memiliki
bandwidth yang besar agar dapat dipergunakan bagi
transaksi berbasis multimedia. Pembangunan
jaringan media transmisi harus dilakukan sedemikian rupa sehingga merata secara
geografis (kualitas dan), dimana seluruh titik-titik komunitas di negara yang
bersangkutan sedapat mungkin dapat terhubung. Komponen kedua yang harus
dikembangkan adalah manajemen pengelolaan jaringan media transmisi tersebut,
yang memiliki tugas utama untuk mengatur, mencatat, memonitor, menganalisa,
mengevaluasi, dan mengelola pemakaian media transmisi terkait oleh publik.
Manajemen ini biasanya dibantu oleh peralatan dan fasilitas teknologi informasi
tertentu untuk menjamin terciptanya proses pelayanan publik yang efisien, efektif,
dan terkontrol dengan baik. Jika kedua komponen pertama dibangun oleh perusahaan
penyedia jasa infrastruktur (supply side), maka komponen ketiga merupakan aplikasi
dan peralatan yang harus dimiliki oleh pelanggan (demand side) yang berniat untuk
memanfaatkan fasilitas koneksitas tersebut. Komponen ini menyangkut perangkat lunak
(software) dan perangkat keras (hardware) yang harus dimiliki dan diinstalasi
di masing-masing komputer pelanggan atau peralatan elektronika lainnya
(distribution channels).
Pada tahap kedua, pengembangan difokuskan
pada pembangunan mekanisme pertukaran data dan informasi yang dipergunakan
sebagai basis dalam melakukan transaksi komersial. Pengembangan teknologi informasi
seperti electronic commerce, distribution database system, electronic digital
interchange (EDI), groupware computing, datawarehousing, dan lain sebagainya
harus didukung dengan teknologi tambahan lainnya yang dapat menjawab
persoalan-persoalan klasik bisnis yang dihadapi, seperti masalah security,
digital signature, maintenance, outsourcing, web-hosting, dan lain-lain.
Menyangkut masalah pembangunan mekanisme
yang dapat mendorong subyek-subyek cyber space untuk mulai melakukan transaksi
komersial adalah ketersediaan sumber daya yang memiliki kompetensi dan keahlian
tertentu. Oleh karena itu keterlibatan konsultan manajemen, pakar hukum,
perguruan tinggi, pusat-pusat riset dan pengembangan, lembaga-lembaga
pemerintahan, institusi-institusi pelatihan, serta vendor-vendor teknologi
sangat dibutuhkan untuk bersama-sama meningkatkan kemampuan dan kepercayaan
masyarakat dalam melakukan transaksi secara elektronis. Setelah jalur
koneksitas dan komunikasi antar subyek-subyek dan obyek-obyek pada cyber
community telah dibangun, tibalah pada pelaksanaan tahap terakhir dalam pembangunan,
yaitu pengembangan komunitas itu sendiri.
Tantangan membangun digital community
dapat dikatakan sebagai suatu usaha yang “mudah tetapi sulit”. Mudah karena pada
dasarnya yang dibutuhkan adalah hanya membangun content atau materi yang memungkinkan
adanya interaksi positif antara komunitas yang terhubung melalui cyber space. Namun di lain pihak usaha tersebut
dirasa cukup sulit, karena masyarakat baru akan mencoba menoleh untuk masuk ke
cyber community bila yang bersangkutan merasa benar-benar membutuhkannya
(walaupun ada sebagian kecil di antara mereka yang bergabung dengan cyber
community karena memiliki niat untuk bereksperimen atau uji coba). Dengan kata
lain, cyber community baru akan tercipta dan berkembang jika produk-produk atau
jasa-jasa yang ditawarkan di cyber space benar-benar secara signifikan akan
memberikan keuntungan-keuntungan baik secara material maupun nonmaterial yang
tidak dapat dilakukan dan diperolah melalui sistem transaksi tradisional. Dari
paparan ringkas di atas terlihat jelas bahwa infrastruktur fisik hanya
merupakan salah satu komponen kecil pembentuk suatu digital community. Dengan
kata lain, memiliki infrastruktur telekomunikasi yang canggih (state-of-the-art)
tidak menjamin telah siapnya suatu negara untuk dapat segera bergabung dalam
sebuah digital community. Bagaimana masyarakat dapat “tergila-gila” dengan
internet dan teknologi
informasi jika masih terjadi fenomena
seperti pulsa telepon naik terus, harga listrik tidak pernah turun, jasa
internet provider masih cukup mahal, pembangunan tidak merata di seluruh tanah
air, KKN merajalela di semua aspek kehidupan, pendidikan tinggi masih berbasis
gelar, korupsi yang masih membudaya, utang luar negeri yang semakin membengkak,
dana pinjaman yang salah alokasi dan monopoli yang masih merajalela? Setidak-tidaknya
seluruh lapisan masyarakat dapat mulai merenung, bahwa terlepas dari “kehebatan-kehebatan”
pembangunan ekonomi dan politik yang telah terjadi di tanah air, terdapat
laporan hasil penelitian yang menempatkan Indonesia di urutan 105 dari kurang lebih
177 negara di dunia dilihat dari segi kesiapan infrastruktur dan suprastruktur teknologi
informasinya. Suatu “prestasi” yang masih jauh dari harapan, yang tidak begitu berbeda
dari ranking persepakbolaan nasional di kiprah dunia.